SALAHKAH TAKJIL KAMI?

Segala jenis makanan diletakkan di atas meja; dikelompokkan jenisnya agar semua orang dapat dengan mudah menemukan apa yang paling dicari dan diminati untuk disantap.

Ramadhan memang selalu begitu. Kehadirannya meningkatkan perekonomian warga. Mereka paham bahwa buka puasa adalah ladang mencari uang.

Makanan-makanan itu sejatinya dipertontonkan di pinggir jalan agar menimbulkan selera, lalu menggerakkan kaki serta tangan untuk membeli. Kalau dalam teori marketing, penjual menggunakan teknik hard sale.

Tapi Ramadhan bukan sekedar membawa berkah ekonomi. Berkah pahala pun bejibun jumlahnya. Mulai dari senyum kepada sesama, hingga yang paling afdhol, yaitu menyegerakan berbuka.

Menyegerakan berbuka puasa itu disebut 'ajila dalam bahasa Arab. Jika dikembangkan kembali kosa katanya, akan menjadi Ta'jil. Kata itulah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk kata benda: Takjil, yang berarti sarana berbuka puasa.

Takjil yang dijual di pinggiran jalan biasanya makanan dan minuman ringan, seperti: gorengan, kolak pisang, jus buah, dan lain sebagainya. Ragamnya banyak macam. Namun sekali lagi, konteks takjil tidak selalu tentang ekonomi. Takjil dapat dipahami sebagai gerakan sosial.

Kita dapat melihat banyak menu bukaan diberikan secara cuma-cuma di masjid dan musholla yang ada. Beramai-ramai pengurus rumah ibadah itu menggerakkan warga sekitar untuk bergantian menyediakan menu berbuka. Biasanya komplit, nasi kotak + kurma + buah + air mineral. Kalaupun sederhana, ya menu pinggir jalan lah hidangannya.

Sekarang, bagi-bagi takjil gratis begitu semarak.

Dahulu saya ikut mengurus pembagian takjil gratis di bus-bus sekitar terminal. Tujuannya sesuai pengertian asal dari takjil itu sendiri dalam bahasa Arab; untuk membantu para pekerja, musafir, dan yang hendak bepergian di  dalam bus mendapatkan bekal berbuka.

Sederhananya kita yang mengejar orang-orang untuk diberikan. Kami yakin dari sekian penumpang di bus, tentu ada yang lupa mempersiapkan bekal kala azan Maghrib berkumandang.

Program tersebut diinisiasi oleh organisasi remaja lingkup kelurahan bernama Gen-M (Generasi Muslim). Pelaksananya tentu kisaran umur 15-27 tahun. Melihat kami yang dahulu imut itu pasti menciptakan asumsi macam-macam.

Konsekuensinya tentu mendapatkan respon beragam. Ada yang cuek - tak acuh, ada yang menolak keras, ada yang sopan memberikan tanda tak mengapa, ada juga yang mengambil dengan raut gengsi, bahkan ada yang mentertawakan kami.
Mereka yang mentertawakan, mungkin, menganggap kegiatan kami ini seperti sia-sia. Entahlah?

Dalam aksi berbagi takjil tersebut kami sisipkan tausiyah singkat tentang kebaikan Ramadhan. Kemudian, kami tawarkan satu per satu kepada para penumpang. Terakhir kami ajak mereka untuk berdoa bersama, "Allahumma lakasumtu, wa biika aamantu, bi rohmatika yaa arrohamarrohiimiien. Aamiien!"

Salahkah takjil kami?

#29haringeblog
#ceritaramadanku

Posting Komentar untuk "SALAHKAH TAKJIL KAMI?"